Pernah kenal istilah sadikin ?? Sadikin ini adalah singkatan dari “Sakit Sedikit Jadi Miskin”. Istilah ini merujuk pada kondisi masyarakat Indonesia yang kebanyakan tidak memiliki akses pembiayaan kesehatan seperti asuransi sebagai pembiayaan kesehatan mereka. Mahlil Rubi (2007)dalam disertasinya menemukan bahwa 83% rumah tangga mengalami pembayaran
katastropik (yaitu, pengeluaran kesehatan melebihi 40% kemampuan membayar rumahtangga) ketika satu anggota rumah tangga membutuhkan rawat inap. Artinya, sebuah rumah tangga akan jatuh miskin (sadikin, sakit sedikit jadi miskin), karena harus berhutang atau menjual harta benda untuk biaya berobat di RS, bahkan di rumah sakit publik. Padahal, di seluruh dunia, prinsip keadilan yang merata (setara) atau equity yang digunakan adalah equity egalitarian, yang pada prinsipnya menjamin bahwa setiap penduduk mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya (you get what you need), dan bukan sesuai kemampuannya membayar (Thabrany, 20057; Wagsatff and Doorslair, 20008).
Mayoritas masyarakat, terutama kalangan ekonomi menengah ke bawah umumnya tidak pernah membuat perencanaan tabungan kesehatan. Biasanya tabungan mereka hanya untuk invenstasi di bidang pendidikan atau tanah dan rumah. Bahkan bagi beberapa keluarga, apa yang mereka dapat hari itu habis untuk makan hari itu juga. Ketiadaan investasi untuk biaya kesehatan inilah yang membuat banyak masyarakat menjadi “golongan sadikin”. Padahal disisi lain, kondisi sakit adalah keadaan yang tidak dapat diperhitungkan (unpredictable) sementara biaya kesehatan di Indonesia termasuk yang mahal karena pembiayaan kesehatan belum sepenuhnya menjadi jaminan yang ditanggung pemerintah. Hal ini tercermin dari sistem pembayaran jasa per pelayanan (fee for service) yang diterapkan Indonesia, meskipun pelayanan tersebut di sediakan di RS publik. Artinya, rakyat Indonesia menghadapi ketidak-pastian (uncertainty) dalam memperolah pelayanan kesehatan. Di rumah sakit publik sekalipun, rakyat tidak tahu berapa biaya yang harus dibayarnya jika ia atau seorang keluarganya dirawat, sampai ia keluar dari rumah sakit. Tidaklah mengherankan, jika akhirnya rakyat mencari pengobatan tradisional atau tidak berobat karena ketiadaan uang, yang berakhir dengan tingginya angka kematian dan rendahnya usia harapan hidup. (Thabrany, 20057).
Sistem Pelayanan Kesehatan Di Indonesia
Laporan WHO tahun 2006 menunjukkan bahwa kontribusi pemerintah, dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, untuk belanja kesehatan selama tahun 1999- 2003 berkisar antara 28,1% – 35,9% sementara kontribusi pemerintah Muangtai pada kurun waktu yang sama berkisar antara 54,8% – 61,6% dari belanja kesehatan rakyatnya. Di berbagai negara maju, pembiayaan kesehatan bersumber dana publik mengambil porsi yang lebih besar. Di Inggris, Prancis, Australia, dan Taiwan pembiayaan publik untuk pelayanan kesehatan mencapai lebih dari 80% dari biaya kesehatan total. Di Indonesia sebaliknya, lebih dari 70% biaya kesehatan harus ditanggung sendiri oleh tiap keluarga (out of pocket -OOP) yang sangat bersifat regresif. (Thabrany, 20057).
Berbagai Penelitian menunjukkan bahwa kesenjangan pelayanan (inequity, ketidakadilan/ ketidak-setaraan) hanya dapat diperkecil dengan memperbesar porsi pendanaan publik, baik melalui APBN (tax funded) maupun melalui sistem asuransi kesehatan sosial.
Sayangnya, seperti disampaikan dimuka, pendanaan kesehatan bersumber pemerintah sangat kecil dan cakupan asuransi kesehatan yang sustainable di Indonesia masih sangat rendah yaitu berkisar pada 9% penduduk tidak mengalami kenaikan berarti sejak tahun tahun 70-an (Thabrany, 2002). Kini alhamdulillah program Askeskin sudah mulai berjalan yang meningkatkan cakupan jaminan kesehatan menjadi lebih dari 40% penduduk.
Walaupun di tahun 2008 terjadi perubahan program Askeskin menjadi Jamkesnas dan polemik yang dimunculkan mengesankan ada salah urus dalam program Askeskin, faktanya sampai hari ini belum ada bukti salah urus.
Bagaimana Sistem Pembiayaan Kesehatan Yang Diterapkan Di Beberapa Negara ?
Sistem pembiayaan kesehatan dapat dibagi menjadi tiga kategori: (1) pembayar tunggal (single payer), (2) pembayar ganda (two-tier, dual health care system), dan (3) sistem mandat asuransi.
Pembayar Tunggal (Single Payer): Pemerintah sebagai pembayar tunggal memberikan asuransi kepada semua warga dan membayar semua pengeluaran kesehatan, meskipun mungkin terdapat copayment dan coinsurance . Sistem pembayar tunggal merupakan bentuk „monopsoni‟, karena hanya terdapat sebuah pembeli (pemerintah) dan sejumlah penjual pelayanan kesehatan. Biaya kesehatan berasal dari anggaran pemerintah yang diperoleh dari pajak umum (general taxation) atau pajak khusus (misalnya, payroll tax).
Dengan perkecualian AS, di banyak negara maju atau kaya, misalnya Inggris, Spanyol, Italia, negara-negara Nordik/ Skandinavia, Kanada, Jepang, Kuwait, Bahrain, dan Brunei, pemerintah berperan sebagai pembayar tunggal untuk pelayanan kesehatan warga. Akses pelayanan kesehatan berdasarkan hak warga yang harus dipenuhi pemerintah, bukan berdasarkan pembelian asuransi. Pemerintah membiayai pelayanan kesehatan dengan menggunakan anggaran pemerintah yang berasal dari pajak umum. Medicare di Kanada, National Health Services (NHS) di Inggris, dan National Health Insurance (NHI) di Taiwan, merupakan contoh sistem pelayanan kesehatan semesta dengan pembayar tunggal. Medicare di Kanada untuk sebagian didanai oleh pemerintah nasional, sebagian besar oleh pemerintah provinsi. Pemerintah Inggris menarik pajak umum dari warga yang antara lain digunakan untuk membiayai pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh NHS. Pemberi pelayanan bisa pemerintah, swasta, atau kombinasi pemerintah dan swasta seperti yang berlangsung di Kanada dan Inggris
Sistem Ganda (Two-Tier): Dalam sistem dua lapis (two-tier) atau ganda (dual health care system), pemerintah menyediakan pelayanan kesehatan atau memberikan cakupan asuransi katastrofik atau cakupan minimal untuk semua warga. Kemudian warga melengkapinya dengan membeli pelayanan kesehatan tambahan di sektor swasta, baik melalui asuransi sukarela atau membayar langsung
Sistem pelayanan kesehatan semesta di Singapore menggunakan kombinasi tabungan wajib melalui potongan gaji (payroll tax) yang didanai perusahaan dan pekerja – suatu skema asuransi kesehatan nasional, dan subsidi pemerintah. Selain itu banyak warga Singapore yang juga membeli asuransi kesehataan swasta tambahan (biasanya dibayar oleh perusahaan) untuk pelayanan kesehatan yang tidak diliput dalam program pemerintah. Sebagian besar pelayanan kesehatan disediakan oleh sektor swasta.
Dalam sistem pelayanan kesehatan di Singapore, pemerintah dengan aktif meregulasi suplai dan harga pelayanan kesehatan untuk menjaga agar biaya selalu terkontrol. Sistem tersebut sangat baik meskipun tidak mudah untuk direplikasi di negara manapun. Dengan sistem tersebut, jumlah keseluruhan pengeluaran kesehatan hanya 3% dari PDB tahunan.
Dari jumlah tersebut, 66% berasal dari sumber swasta. Hasilnya bagi kesehatan warga sangat menakjubkan. Dewasa ini Singapore memiliki angka kematian bayi nomer dua terendah di seluruh dunia, dan satu di antara negara dengan angka harapan hidup saat kelahiran tertinggi di dunia. WHO menyebut Singapore “salah satu sistem pelayanan kesehatan yang paling sukses di dunia, baik dalam arti efisiensi pembiayaan maupun hasil-hasil kesehatan komunitas yang dicapai”.
Kita sangat boleh iri dengan mereka 🙂
Mandat Asuransi: Pemerintah memberikan mandat (mewajibkan) agar semua warga memiliki asuransi dari perusahaan asuransi swasta, pemerintah, atau nirlaba . Indonesia dalam model ini sejak tahun 2004. Dalam pelaksanaan mandat asuransi, pemerintah di sejumlah negara membatasi jumlah perusahaan asuransi. Di beberapa negara lainnya jumlah perusahaan asuransi yang beroperasi tidak dibatasi dan berlangsung dalam mekanisme pasar. Pemerintah melakukan regulasi dan standarisasi, misalnya larangan perusahaan asuransi untuk menolak untuk mengasuransi warga yang telah melangalami penyakit (pre-existing condition).
Dimana Sistem Kesehatan Di Indonesia Sekarang ??
Indonesia berada pada tahap transisi menuju cakupan semesta. Pemerintah menyediakan pelayanan kesehatan primer di puskesmas dan pelayanan sekunder di rumahsakit pemerintah. Tetapi warga harus membayar biaya „user-charge‟ atau „co-payment‟ ketika menggunakan pelayanan puskesmas. Tanpa perlindungan asuransi, sebagian besar warga di Indonesia harus membayar langsung hampir seluruh biaya (full cost) pelayanan spesialistik, rawat inap, obat, tindakan bedah, dan prosedur diagnostik, baik di rumah sakit pemerintah, rumahsakit swasta maupun praktik dokter swasta. Ketiadaan sistem pembiayaan pra-upaya ini menyebabkan sebagian besar warga Indonesia berisiko mengalami pengeluaran kesehatan katastrofik ketika menggunakan pelayanan kesehatan sekunder.
Sebagian warga yang bekerja di sektor formal memiliki asuransi kesehatan. Pegawai negeri, pensiunan, veteran, anggota TNI, dan keluarganya, mendapat perlindungan pembiayaan melalui skema Askes yang dikelola oleh PT Askes, dengan dana dari potongan gaji. PT Akses saat ini mengelola sekitar Rp 6,6 triliun premi dari peserta wajib yaitu pegawai negeri sipil (PNS), veteran, pensiunan, setiap tahunnya (Suara Karya, 10 Juli 2010). Sebagian pekerja di perusahaan swasta memiliki asuransi kesehatan wajib yang dikelola oleh PT Jamsostek, dengan potongan gaji pekerja dan kontribusi perusahaan. Pekerja di perusahaan swasta lainnya membeli polis asuransi kesehatan swasta, dengan potongan gaji pekerja dan kontribusi perusahaan.
Sejak beberapa tahun terakhir pemerintah Indonesia menjalankan skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) untuk keluarga miskin dengan dana yang berasal dari APBN. Pada 2010 disediakan dana sebesar Rp 5.1 trilyun untuk skema Jamkesmas. Jamkesmas dikelola oleh Kementerian Kesehatan (Indo Pos, 7 November 2010).
Selain itu sesuai dengan semangat era desentralisasi, dewasa ini telah dikembangkan skema Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) pada 186 dari seluruh 490 kabupaten/ kota di Indonesia (Suara Karya, 16 Juli 2010), dengan tujuan untuk membiayai pelayanan kesehatan keluarga miskin yang belum terliput oleh Jamkesmas. Dana Jamkesda berasal dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/ Kota. Sebagian besar (185) manajemen Jamkesda dilakukan oleh PT Askes. PT Askes pada tahun 2010 mengelola Rp 750 milyar dana program Jamkesda.
Di Indonesia, konsep “managed care” dan “health maintenance organization” diperkenalkan pertama kali pada awal 1990an melalui beberapa model pembiayaan dan penyediaan pelayanan yang terkelola yang disebut “Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat” (JPKM). JPKM diperkenalkan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas cakupan berbagai bentuk dana sehat di Indonesia yang telah ada pada awal 1980an. Evolusi JPKM akhirnya melahirkan undang-undang jaminan sosial nasional, yaitu UU SJSN No. 4/ 2004. Pada April 2011 sedang dibahas RUU Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS), meliputi bahasan tentang badan yang akan melaksanakan amanat UU SJSN No. 4/ 2004.
Boleh Iri
Rakyat Indonesia boleh iri dengan rakyat di negara tetangga. Di Sri Lanka yang juga negara berkembang, bahkan tergolong miskin, pelayanan kesehatan dan pendidikan disediakan gratis kepada semua penduduknya. Penduduk Muangtai juga tidak perlu pusing memikirkan biaya perawatan di rumah sakit. Para pegawai mendapatkan jaminan kesehatan melalui program pemerintah atau jaminan sosial. Penduduk lain seperti nelayan dan petani, tanpa memandang mereka miskin atau kaya, tidak lagi membayar jika dirawat di rumah sakit. Penduduk Muangtai terbebas dari rasa takut dan tidak perlu ngebon kepada majikan jika istrinya melahirkan atau anaknya masuk rumah sakit. Di Malaysia, penduduk juga boleh tenang berfikir dan berkonsentrasi belajar dan bekerja. Jika mereka perlu rawat inap, maka tarifnya hanya RM 3 (sekitar Rp 6.000) sehari, termasuk segalanya; meskipun mereka harus masuk ICU atau menjalani operasi yang mahal. Bahkan penduduk Malaysia tidak perlu khawatir jika mereka harus menjalani operasi jantung, yang di Indonesia dapat menghabiskan lebih dari Rp 150 juta, di RS Pemerintah!! Di Malaysia, pemerintah sudah menjaminnya. Indikator kesehatan dan pendidikan menunjukkan bahwa orang Sri Lanka, Muangtai, dan Malaysia jauh lebih sehat, lebih pintar dan lebih jarang korup dibanding orang Indonesia. Mengapa? Ya, mereka bisa berkonsentrasi untuk belajar dan bekerja, tanpa harus sibuk cari pinjaman, korupsi, atau kasak-kusuk mengembangkan pungli untuk menutupi biaya pendidikan atau berobat di rumah sakit.
Bagaimanapun, Indonesia masih berbenah, dan kita tetap harus optimis dalam menyikapinya bersama . Andaikan system kesehatan di Indonesia sudah bisa seatle, maka mungkin kasus koin untuk Bilqis tidak akan lagi kita jumpai, semoga……………
Daftar Pustaka
Murti, Bhisma. (2011). Asuransi Kesehatan Berpola Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat di Era Desentralisasi Menuju Cakupan Semesta. Disampaikan pada Seminar Nasional “Revitalisasi Manajemen Puskesmas di Era Desentralisasi” di Universitas Sebelas Maret, Surakarta, pada 26 April 2011.
Thabrany, Hasbullah . (2007). Strategi Pendanaan Jaminan Kesehatan Indonesia dalam SJSN. Disampaikan pada Diskusi RPJMN Bappenas 29 April 2008. Makalah ini merupakan versi
penyesuaian dari makalah yang disajikan dalam Konperensi Prakarsa bulan Juni 2007 di Jakarta.